Kampungku

Belitang, Lumbung yang Terusik Banjir

PANEN telah tiba. Puluhan petani beramai-ramai turun ke tengah hamparan padi yang menguning. Beberapa petani memotong batang padi, sebagian membawa batang padi potongan untuk dikumpulkan di bawah tenda. Di tenda, sejumlah petani lain terus mengayuh alat perontok padi sederhana untuk memisahkan bulir- bulir padi yang montok dari tangkainya.

SEJUMLAH petani di Desa Tegalrejo, Kecamatan Belitang I, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan (Sumsel), terlihat begitu gembira Kamis (21/4) siang itu. Kegembiraan terasa saat tiba waktu makan siang. Mereka segera berhenti bekerja, berkumpul di bawah tenda, dan menyantap menu makan yang bersahaja. Pemilik sawah, Wagimin (30), pun ikut makan sambil menghitung- hitung gabah yang bisa dibawa ke rumah.

“Panen kali ini mungkin bisa dapat 2,5 ton dari setengah hektar sawah. Kalau dijual dengan harga gabah kering panen Rp 1.000 per kilogram, bisa dapat Rp 2,5 juta,” kata Wagimin.

Tak jauh dari situ, di Desa Sidogede, puluhan petani perempuan bercaping lebar sibuk menanam padi. Mereka mengurai benih padi dan membenamkannya dalam tanah berlumpur yang telah diolah. Benih-benih padi segera menjadi ratusan lajur membentuk hamparan tanaman padi muda yang akan dipanen tiga bulan lagi.

Jika tidak ada serbuan hama besar, para petani rata-rata bisa memanen sebanyak lima ton sampai dengan tujuh ton gabah kering panen dari setiap satu hektar sawah. “Tanah di sini sangat subur dan didukung irigasi yang mengalir lancar. Kalau digarap dengan baik, pertanian di sini bisa memberikan keuntungan lumayan,” kata Yatinah (35), salah seorang petani perempuan yang sedang menanam padi.

Ribuan hektar persawahan di Kecamatan Belitang I, Kecamatan Belitang II, dan Kecamatan Belitang III sejak lama dikenal sebagai salah satu lumbung padi andalan di Sumsel. Persawahan yang terletak sekitar 40 kilometer timur laut Martapura, ibu kota Ogan Komering Ulu Timur, itu semakin berkembang dan produktif ketika mendapat limpahan irigasi teknis dari Bendung Perjaya.

Bendung ini mengandalkan air dari Sungai Komering yang berhulu di Danau Ranau. Bendung besar di Kecamatan Buay Pemuka Peliung berjarak sekitar 50 kilometer dari Belitang.

Mulanya, persawahan di daerah Belitang juga sama dengan umumnya lahan pertanian di daerah Ogan Komering Ulu Timur yang rata-rata mengalami musim tanam dan panen sekali setahun, saat musim hujan. Irigasi teknis dari Bendung Perjaya memberikan air yang melimpah, mengubah Belitang menjadi areal pertanian yang subur. Para petani rata-rata dapat panen tiga kali per tahun, sekitar Desember, Mei, dan Agustus.

Saat ini luas persawahan beririgasi teknis di Belitang mencapai 20.968 hektar. Produktivitas lumbung padi ini pun cukup menjanjikan. Jika setiap satu hektar sawah menghasilkan sekitar lima ton gabah kering panen, seluruh areal sawah di Belitang menghasilkan 104.840 ton setiap panen atau 314.520 ton selama tiga kali panen dalam setahun. Produktivitas itu mencapai sekitar 16 persen dari total produksi gabah di Sumsel tahun 2004, sebanyak dua juta ton per tahun.

Masyarakat lebih suka menyebut daerah pertanian di Belitang sesuai dengan areal pembagian air dari Sungai Komering, mulai dari Bangunan Komering (BK) 1, BK 2, BK 3, sampai dengan BK 35. Masing-masing BK merupakan bangunan irigasi sekunder yang dilengkapi pintu-pintu pengatur.

BERBEDA dengan nasib para petani di daerah lain di Sumsel yang umumnya pas-pasan, masyarakat petani di Belitang bisa dibilang hidup berkecukupan sandang, pangan, dan papan. Kemakmuran itu tercermin dari rumah-rumah penduduk yang rata-rata sudah bertembok, lantai tegel, atau plester semen. Sebagian rumah dilengkapi antena parabola besar.

Rasanya sulit ditemukan rumah dari bambu atau kayu yang reyot.

Perkampungan Belitang juga ramai karena didukung akses jalan beraspal besar yang mulus, baik jalan menuju Martapura maupun ke Palembang, ibu kota Provinsi Sumsel yang berjarak sekitar 240 kilometer. Setiap desa rata-rata memiliki lebih dari 10 mesin penggiling padi. Di Kecamatan Belitang I, telah berdiri dealer mobil yang menunjukkan daya beli masyarakat sekitar lumayan tinggi.

Tukiran (59), petani asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Belitang I, termasuk salah satu petani yang hidup berkecukupan. Ketua Kelompok Tani Sriguna itu tekun menggarap lahan miliknya seluas 7.200 meter persegi, dengan penghasilan sekitar enam ton gabah kering setiap kali panen.

Dengan harga gabah rata-rata Rp 1.000 per kg, ia mendapat hasil penjualan gabah sekitar Rp 6 juta sekali panen. Dikurangi biaya produksi, pemeliharaan, dan pengobatan yang rata-rata Rp 2 juta, keuntungan bersihnya Rp 4 juta sekali panen. “Kami panen tiga kali per tahun,” katanya.

PERTANIAN di Belitang terus berkembang karena didukung irigasi dari Bendung Perjaya yang mengalirkan air selama 24 jam. Dari saluran primer di Bendung Perjaya, air irigasi dialirkan melalui saluran sekunder berupa BK sebanyak 35 saluran, kemudian dipecah-pecah ke saluran tersier, kuarter, hingga masuk ke petak-petak persawahan.

Setiap areal persawahan akan mendapatkan aliran air yang melimpah saat menanam benih padi yang diatur secara bergiliran. Dengan begitu, musim tanam dan panen di Belitang tidak terjadi secara serentak, melainkan berurutan. Teknis pengaturan air di lapangan dikelola para petugas pengairan yang berkoordinasi dengan ulu-ulu (jaga tirta), penjaga pintu air, perkumpulan petani pemakai air, dan kelompok-kelompok tani di setiap desa.

Jamian, juru pengairan dari Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Belitang, mengatakan, setiap satu juru pengairan seperti dirinya rata-rata bertanggung jawab untuk mengatur pengairan sekitar lima kelurahan, yang meliputi lebih kurang 1.300 hektar sawah yang digarap sekitar 2.000 petani. Masing-masing kelurahan mendapat jatah aliran air sekitar satu hari dalam seminggu, atau sesuai dengan jadwal musim tanam yang disepakati.

Hanya saja, saat ini puluhan kilometer saluran irigasi sekunder dan tersier di Belitang rusak dan pecah-pecah sejak dua tahun belakangan ini. Akibatnya, proses perairan tersendat.

Kepala Seksi Bina Program Dinas PU Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Muhali mengakui, sekitar 6,5 kilometer dari 65 kilometer jalur irigasi sekunder mulai rusak.

Kerusakan saluran irigasi sekunder terjadi antara lain di BK I dan BK 12 di Kecamatan Buay Madang, serta BK 14 di Kecamatan Belitang III. Beberapa titik di jalur irigasi antara BK 12 dan 13 juga patah karena erosi dan longsor. Kerusakan irigasi tersier dan kuarter terjadi di banyak jalur persawahan di Belitang.

Masalah lain, Belitang juga tak luput dari banjir tahunan yang biasa melanda areal persawahan di Sumsel. Pada pertengahan Januari 2005, misalnya, 17.169 hektar sawah di daerah itu terendam banjir sekitar dua pekan. Akibatnya, 8.889 hektar di antaranya puso. Sawah yang terendam, antara lain, terdapat di Desa Sidomulyo dan Tanjung Raya. (Ilham Khoiri)

Sekilas tentang Belitang

Belitang adalah satu dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (setelah dilakukan pemekaran/otonomi daerah). Karena sebelum adanya otonomi daerah dulu hanya ada OKU, tidak ada yang namanya OKU Timur, OKU Selatan, dan sebagainya. Kecamatan Belitang yang beribu kota Gumawang berjarak sekitar 360 kilometer dari ibu kota Sumatera Selatan, Palembang. Sementara Belitang sendiri terdiri dari Belitang I, Belitang II dan Belitang III. Hampir seluruh wilayahnya dipenuhi hamparan padi yang tumbuh subur dan hijau. Mata semakin sejuk memandang dengan aliran air Irigasi Upper Komering yang sehari-sehari menyirami ribuan hektare persawahan. Untuk Belitang sendiri penduduknya mencapai 54.000 KK. Dan dari segi infrastruktur, Belitang sudah memiliki perbankan, pendidikan, pertanian. Bahkan untuk sektor pendidikan di Belitang sudah ada hingga strata S2.

Budaya
Belitang merupakan salah satu basis pelestarian budaya Jawa di Sumatera yang masih kuat hingga sekarang. Berbagai pertunjukan seni tradisional masih terus digelar, seperti reog, jatilan, ketoprak, dan wayang kulit. Soal wayang kulit, dari sekitar 100 dalang Wayang Purwa yang ada di Sumsel, sebanyak 67 dalang tinggal di daerah Belitang. Sementara untuk budaya suku asli sendiri sudah hampir tidak terlalu menonjol. Sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini budaya suku asli yang masih ada hanyalah ”runcak-runcakan” atau lebih populer di kenal dengan sebutan ”lempar selendang”. Namun secara garis besar, budaya di Belitang lebih di dominan oleh budaya orang-orang pendatang (transmigrasi).

Pertanian
Belitang memiliki sawah beririgasi teknis cukup luas, yakni lebih dari 26.000 ha. Tak heran kalau Belitang merupakan daerah persawahan beririgasi teknis terluas di provinsi Sumatera Selatan. Dari hasil pertanian, Belitang sendiri menghasilkan 1,5 juta ton hingga 1,8 juta ton gabah kering giling, dari dua juta ton yang dihasilkan oleh Sumsel setiap tahunnya. Selain persawahan, Belitang juga banyak ladang. Di ladang para petani menamam, rambutan, durian, sayur mayur, singkong, kedelai dan lain sebagainya. Namun secara geografis, sebenarnya tanah di Belitang mayoritas persawahan. Persawahan yang terletak sekitar 40 kilometer timur laut Martapura, ibu kota Ogan Komering Ulu Timur, itu semakin berkembang dan produktif ketika mendapat limpahan irigasi teknis dari Bendung Perjaya. Menariknya, Bendungan Perjaya yang di bangun pada masa pemerintahan Soeharto tersebut sampai sekarang belum juga di resmikan. Dulu pada saat Megawati menjabat sebagai orang nomer satu di negeri ini berencana mau meresmikan, namun karena satu dan lain hal, rencana tersebut batal. Walaupun belum di resmikan, akan tetapi untuk pengoperasionalan Bendungan Perjaya tetap jalan terus.


Masyarakat di Belitang lebih suka menyebut daerah pertanian sesuai dengan areal pembagian air dari Sungai Komering, mulai dari Bangunan Komering (BK) 1, BK 2, BK 3, sampai dengan BK 35. Masing-masing BK merupakan bangunan irigasi sekunder yang dilengkapi pintu-pintu pengatur. Di Belitang setiap desa rata-rata memiliki lebih dari 10 mesin penggiling padi.

Sekedar informasi bahwa duku Palembang yang terkenal dengan manisnya tersebut, yang banyak di jual di jalanan Jakarta sebenarnya bukan dari Palembang (Kota). Akan tetapi duku tersebut berasal dari sebuah desa yang bernama Rasuan, sebuah desa yang tak jauh dari Belitang. Desa tersebut di huni oleh penduduk asli, suku Komering. Begitu juga dengan durian, yang asalnya dari Rasuan. Mungkin supaya enak saja menyebutnya, karena kalau di sebut durian atau duku dari Rasuan, pasti orang tidak akan kenal dan bertanya-tanya, Rasuan, daerah mana itu?. Tetapi kalau di sebut duku atau durian dari Palembang, pasti semua orang kenal. Kalau lagi musim duku dan durian, dikampung saya harganya jauh lebih murah di banding di sini. Untuk durian satu bijinya hanya di hargai sekitar 3.000-5.000 perak, murah bukan. Coba bandingkan dengan di sini, satu biji bisa 10 ribu hingga 25 ribu. Ah….kalau lagi musim duku dan durian seperti ini, jadi ingin pulang kampung.

Perekonomian

Mayoritas pekerjaan penduduk asli Belitang adalah bertani. Namun berbeda dengan nasib para petani di daerah lain di Sumsel yang umumnya pas-pasan, masyarakat petani di Belitang bisa dibilang hidup berkecukupan sandang, pangan, dan papan. Kemakmuran itu tercermin dari rumah-rumah penduduk yang rata-rata sudah bertembok, lantai tegel, atau plester semen. Sebagian rumah juga sudah dilengkapi antena parabola besar. Rasanya sulit ditemukan rumah dari bambu atau kayu yang reyot. Perkampungan Belitang juga ramai karena didukung akses jalan beraspal besar yang mulus, baik jalan menuju Martapura maupun ke Palembang. Di Kecamatan Belitang I, telah berdiri dealer mobil yang menunjukkan daya beli masyarakat sekitar lumayan tinggi.

Penutup
Dengan luasnya daerah pertanian yang ada di Belitang serta di tunjang irigasi yang sangat bagus, Belitang pasti akan menjadi daerah yang makmur. Apalagi pada tanggal 17 Januari kemarin, berkaitan dengan hari jadi OKU Timur, daerah Belitang di jadikan Kota Terpadu Mandiri (KTM) oleh menteri dalam negeri kabinet gotong royongnya SBY. Semoga kemakmuran dan kedamaian yang ada di Belitang akan merata

AMIN 1000x

Tinggalkan komentar